Sabtu, Mei 09, 2009

Catatan Hari Ke Delapan (bagian pertama)

“Ayo bu…terus…..bagus, ini sudah mulai kelihatan kepalanya, ayo bu…”
“Sedikit lagi ibu…..ya ya….alhamdulillah ya Allah”, seru dokter Deli, sontak suara tangis bayi memecah keheningan dini hari di rumah sakit tua itu.
“Dok, anak saya…?” tanya Ibu Murni lemah diantara peluh yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Ini bu putrinya, cantik kan, alhamdulillah normal dan sehat. Sebentar lagi disusuin ya ibu, oya bu Murni silakan di adzani bayinya” jawab dokter Deli ramah sambil meletakkan bayi merah itu di gendongan bu Murni.

Masih dalam kondisi lemas, letih dan sakit yang belum hilang, ibu muda itu menerima bayinya dengan pandangan nanar dibarengi cucuran air mata. Dengan suara tersendat isak tangis, ia mencoba melafalkan adzan serta iqomah di telinga kanan dan kiri putri mungilnya. Tangan halusnya mendekap erat bayinya yang belum diberi nama, seakan ia tak mau kehilangan setiap tarikan nafas manusia kecil yang baru saja dilahirkannya dengan taruhan nyawa laksana seorang mujahid.

Selang beberapa menit kemudian, bu Murni serta bayinya dibawa ke ruang perawatan yang terpisah. Di sal yang dipenuhi delapan ibu termasuk dirinya inilah ia akan memulihkan fisik dan mentalnya.
Dipandangnya langit-langit sal, benaknya dipaksa untuk berpikir keras bagaimana ia akan melunasi semua biaya persalinannya dan ke mana ia akan membawa pulang anak pertamanya.

Hmmmmhhhh…..bu Murni menghela napas panjang nan berat, entah telah berapa ribu kali ia menangisi jalan hidupnya. Suami tercinta telah berpulang ke Rahmatullah sejak dirinya hamil empat bulan. Suami yang dicintainya, yang selama ini menjadi penopang hidupnya, walaupun mereka hidup serba kekurangan di pinggiran kali kota tua ini.

“Assalamua’laikum bu….,” salam dokter Deli membuyarkan lamunannya.
“Wa’alaikumsalam dok, ehhmmm dok boleh saya bicara sebentar,” jawab bu Murni ragu. Hatinya berkecamuk, darimana ia harus memulai semuanya, Ia ingin berterus terang tentang keadaannya tapi apakah dokter kandungan yang baik dan ramah ini akan mengerti, atau jangan-jangan dokter yang baru dikenalnya dua hari lalu, yang tergopoh gopoh saat melihat dirinya tertatih tatih turun dari becak yang mengantarnya ke rumah sakit ini, malah menduga ia hanya mengada ada.

Seakan mengerti keraguan bu Murni, dokter Deli langsung menutup tirai biru muda yang menjadi penyekat antara ranjang pasien yang satu dengan lainnya, lalu duduk di kursi yang terletak di sisi kanan ranjang sambil menatap lekat ibu muda yang masih terlihat sangat letih meskipun telah dua hari menjalani perawatan paska melahirkan.

“Silakan ibu, diceritakan saja semuanya Insya Allah saya bantu semampu saya”
“Dok, sebenarnya saya berat untuk menceritakannya tapi saya gak tau lagi harus…” sambil mengusap air mata yang mulai membasahi pipi pucatnya. Dihelanya napas panjang untuk membuang semua keraguan di hati, lalu meluncurlah semua kisah itu.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar