Senin, Mei 11, 2009

Catatan Hari Ke Delapan (bagian terakhir)

Dini Hari Di Tahun Ke Tiga Puluh Tiga

Bip bip bip… dering ponsel, dengan tergopoh gopoh Nelly menuju meja rias di sudut kamar, nampak nama Om Deli di layar.
“Selamat milad ya Nel….Smoga murah rizqi, sehat, dan panjang umur. Oya, gimana kabar keluarga di sana?”
“Terima kasih Om Deli, iya ….. alhamdulillah sehat,…” jawab Nelly gamang tapi tetap dipaksakan agar terdengar ceria.
“Salam untuk Tante ya Om” lanjutnya mengakhiri pembicaraan sambil mematikan ponsel.

Masih memegang ponselnya, Nelly menghempaskan dirinya di atas ranjang, pagi ini raga dan pikirannya terasa berat walau hatinya dipenuhi kebahagiaan. Situasi yang selalu dirasa Nelly setiap datang hari lahirnya.
Pikirannya berjalan mundur ke peristiwa lima tahun lalu saat ia harus berhadapan dengan kenyataan yang selama ini terbungkus rapi. Belum kering air mata Nelly karena kepergian Bapak ke hadirat Illahi, disusul kepergian Ibu yang berselang beberapa minggu, ia diharuskan berdiri tegak dalam ketegaran ketika Om Deli menceritakan asal usulnya atas permintaan almarhum kedua orang tua Nelly..

Sejak saat itu, konflik batin selalu dialami Nelly, di satu sisi ia sangat bersyukur memiliki orang tua yang penuh kasih seperti almarhum Bapak dan Ibu, dengan tulus ikhlas almarhum dan almarhumah merawat, membesarkan serta mendidik dirinya, seperti anak kandung yang lahir dari rahim Ibu.

Jika dulu bu Murni tidak merelakan dirinya untuk diasuh oleh Bapak dan Ibu, mungkin ia tidak akan bisa menjadi seperti sekarang.
Limpahan cinta serta materi dari almarhum orang tuanya yang selalu memanjakan, lalu ia bisa merasakan nikmatnya bangku pendidikan di sekolah favorit hingga menjadi alumni suatu universitas ternama dengan predikat kelulusan “cum laude”, bisa merasakan nikmatnya menjadi wanita karir, Dan berjuta-juta kenikmatan dari Illahi yang telah Nelly peroleh sepanjang hidupnya.

Di sisi lain, kegetiran selalu menyapa hatinya, pantaskah ia memanggil sosok wanita yang hanya dikenalnya lewat cerita Om Deli, dengan sebutan Ibu. Apakah seorang ibu tega memberikan anak yang telah dilahirkan dari rahimnya melalui perjuangan yang begitu hebat kepada orang lain, dengan dalih kesulitan ekonomi, tidak ingin anaknya menderita, tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya. Apakah ini berarti ibu telah membuang darah dagingnya sendiri, apakah ini sama artinya dengan pasrah pada takdir ataukah ketakutan akan jalan hidup? Bukankah nasib dan juga takdir masih dapat dibelokkan atas izinNYA asalkan si manusianya itu berusaha?

Tiga puluh tiga tahun sudah, bu Murni, ibu biologisnya, berpisah dengan dirinya, apakah tidak terbersit keinginan untuk mencari keberadaan anaknya seperti yang ia lakukan selama ini. Mencari dan mencari dimanakah bu Murni berada, walau tak didukung oleh satu pun data mengenai wanita ini. Om Deli hanya tahu nama lengkap dari bu Murni, selebihnya tidak ada yang diingatnya. Ibarat mencari jarum di luasnya samudera.

Apakah bu Murni tidak memiliki kerinduan untuk bertemu seperti yang dimiliki dirinya? Apakah bu Murni masih hidup? Berjuta “apakah” selalu hadir dalam benak Nelly, berjuta rasa mengacak acak kalbunya.
Apapun jawabannya…Nelly tetap bersujud penuh syukur ke hadirat Sang Maha Pemurah atas kehidupan yang telah dilaluinya, terima kasih kepada Sang Pencipta atas hadirnya ibu dan bapak kandungnya yang sampai detik ini belum bisa dikenalnya, keberadaan om Deli, Bapak dan Ibu yang telah merubah jalan hidupnya, tentu dengan kehendak Sang Maha Kuasa.

Dengan sigap, Nelly bangun, meninggalkan ranjang, menuju ke meja tulisnya, jari-jarinya lincah bermain di atas laptop mengetikkan beberapa kata, seperti tahun-tahun yang telah lewat, di setiap hari lahirnya, ditemani dengan setetes demi setetes air mata.


Alhamdulillah ya Allah, atas perkenanMU, aku masih bisa hidup hari ini
Alhamdulillah ya Allah, atas cintaMU, aku masih bisa bersujud syukur dan mohon ampunanMU hari ini
Alhamdulillah ya Allah, atas kuasaMU, aku ada di dunia ini, meski ku tak pernah tahu siapa ayah dan ibu yang melahirkanku
Alhamdulillah ya Allah, atas kehendakMU, aku dapat menikmati cinta penuh keikhlasan dari almarhum Bapak dan Ibuku
Ampuni aku Ya Rabb, atas segala rasa yang berkecamuk dalam kalbu
Ijinkanku Ya Rabb, bertemu dan memeluk ayah ibu yang mengantarku ke dunia, seperti juga keinginanku bertemu dan memeluk kembali almarhum Bapak dan Ibuku

Sabtu, Mei 09, 2009

Catatan Hari Ke Delapan (bagian kedua)

Suatu Senja di Rumah Jl. Mawar

Sepasang suami istri yang telah berumur terlihat duduk cemas di kursi rotan yang berada di teras asri rumah mereka. Seakan ada yang mereka nantikan, dan lima belas menit kemudian…sebuah sedan merah tua berhenti tepat di seberang rumah.
Tampak seorang pria muda turun dari mobil, berjalan memutar ke samping kiri lalu membuka pintu mobilnya dan seorang wanita berpakaian lusuh, menggendong bayi, turun serta langsung mengikuti langkah pria tadi, setelah menutup pelan pintu sedan merah tua itu.

“Assalamu’alaikum mas, mbak, kenalkan ini Bu Murni yang aku ceritakan kemarin”
“Wa’alaikumsalam…..mari masuk Bu, ngobrolnya di dalem aja ya” jawab lelaki yang telah berumur ini sambil menjabat tangan bu Murni,
“Kenalkan saya Seto dan ini Retno istri saya, kalau dokter Deli, adik saya yang nomor dua, yang bontot tinggal di luar kota”
“Begini bu Murni….., kami sudah mendengar semuanya dari dik Deli dan seperti sudah digariskan oleh Yang Di Atas, kami sendiri sudah sepuluh tahun belum dikaruniai momongan, jadi begitu dengar critanya dari adik, ya kami berdua putuskan untuk mengadopsi putri ibu,” urai Retno

Sambil menunduk menatap bayi perempuannya, bu Murni mengangguk pelan, tampak buliran air mata jatuh mengenai pipi merah bayinya yang sedari tadi tertidur pulas di dalam gendongannya.
Perlahan…bu Murni melepaskan kain gendongan dan menyodorkan bayinya ke pangkaun Retno. Tak ada kalimat keluar dari bibirnya, seolah ia sudah kehilangan semua perbendaharaan kata.

Jauh di dalam lubuk hati bu Murni, ia sangat dan begitu mencintai darah dagingnya tapi ia harus tunduk pada nasib. Ia tak mau anak tercintanya menjalani kehidupan yang menderita sama seperti dirinya, ia ingin putrinya mendapatkan kebahagiaan walaupun harus mengorbankan berjuta rasa.

“Titip anak saya Bu…Pak” ucap Bu Murni gemetar.
“InsyaAllah bu….” Sahut Seto dan Retno berbarengan.

bersambung...
Catatan Hari Ke Delapan (bagian pertama)

“Ayo bu…terus…..bagus, ini sudah mulai kelihatan kepalanya, ayo bu…”
“Sedikit lagi ibu…..ya ya….alhamdulillah ya Allah”, seru dokter Deli, sontak suara tangis bayi memecah keheningan dini hari di rumah sakit tua itu.
“Dok, anak saya…?” tanya Ibu Murni lemah diantara peluh yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Ini bu putrinya, cantik kan, alhamdulillah normal dan sehat. Sebentar lagi disusuin ya ibu, oya bu Murni silakan di adzani bayinya” jawab dokter Deli ramah sambil meletakkan bayi merah itu di gendongan bu Murni.

Masih dalam kondisi lemas, letih dan sakit yang belum hilang, ibu muda itu menerima bayinya dengan pandangan nanar dibarengi cucuran air mata. Dengan suara tersendat isak tangis, ia mencoba melafalkan adzan serta iqomah di telinga kanan dan kiri putri mungilnya. Tangan halusnya mendekap erat bayinya yang belum diberi nama, seakan ia tak mau kehilangan setiap tarikan nafas manusia kecil yang baru saja dilahirkannya dengan taruhan nyawa laksana seorang mujahid.

Selang beberapa menit kemudian, bu Murni serta bayinya dibawa ke ruang perawatan yang terpisah. Di sal yang dipenuhi delapan ibu termasuk dirinya inilah ia akan memulihkan fisik dan mentalnya.
Dipandangnya langit-langit sal, benaknya dipaksa untuk berpikir keras bagaimana ia akan melunasi semua biaya persalinannya dan ke mana ia akan membawa pulang anak pertamanya.

Hmmmmhhhh…..bu Murni menghela napas panjang nan berat, entah telah berapa ribu kali ia menangisi jalan hidupnya. Suami tercinta telah berpulang ke Rahmatullah sejak dirinya hamil empat bulan. Suami yang dicintainya, yang selama ini menjadi penopang hidupnya, walaupun mereka hidup serba kekurangan di pinggiran kali kota tua ini.

“Assalamua’laikum bu….,” salam dokter Deli membuyarkan lamunannya.
“Wa’alaikumsalam dok, ehhmmm dok boleh saya bicara sebentar,” jawab bu Murni ragu. Hatinya berkecamuk, darimana ia harus memulai semuanya, Ia ingin berterus terang tentang keadaannya tapi apakah dokter kandungan yang baik dan ramah ini akan mengerti, atau jangan-jangan dokter yang baru dikenalnya dua hari lalu, yang tergopoh gopoh saat melihat dirinya tertatih tatih turun dari becak yang mengantarnya ke rumah sakit ini, malah menduga ia hanya mengada ada.

Seakan mengerti keraguan bu Murni, dokter Deli langsung menutup tirai biru muda yang menjadi penyekat antara ranjang pasien yang satu dengan lainnya, lalu duduk di kursi yang terletak di sisi kanan ranjang sambil menatap lekat ibu muda yang masih terlihat sangat letih meskipun telah dua hari menjalani perawatan paska melahirkan.

“Silakan ibu, diceritakan saja semuanya Insya Allah saya bantu semampu saya”
“Dok, sebenarnya saya berat untuk menceritakannya tapi saya gak tau lagi harus…” sambil mengusap air mata yang mulai membasahi pipi pucatnya. Dihelanya napas panjang untuk membuang semua keraguan di hati, lalu meluncurlah semua kisah itu.

bersambung....